Beberapa peserta workshop nampak terkejut dan merasa terkecoh saat ditunjukkan ada satu buah buku tampil dengan dua judul berbeda. Judul buku itu adalah The Man Who Loved China dan Bomb, Book and Compass.
Beberapa peserta workshop nampak terkejut dan merasa terkecoh saat ditunjukkan ada satu buah buku tampil dengan dua judul berbeda. Judul buku itu adalah The Man Who Loved China dan Bomb, Book and Compass.
Keduanya terbit di negara yang berbeda dan ditulis oleh seorang penulis bernama Simon Winchester. Judul pertama terbit di Amerika dan judul kedua di Inggris. Demikian sebuah contoh kasus yang dipresentasikan Tanudi, salah seorang koordinator penerbit di Kelompok Agromedia, dalam rangkaian workshop seputar critical point sampul buku Selasa pagi kemarin (12/05/09).
Mengapa hal di atas bisa terjadi? Menurut paparan Tanudi, tidak semua judul buku bisa diterapkan pada semua kondisi, termasuk pada budaya dan negara yang berbeda. Ia menambahkan, penerbit Harper Collins, merasa judul The Man Who Loved China lebih tepat bagi pembaca di Amerika dibanding judul Bomb, Book and Compass. Sekadar catatan, Simon Winchester adalah penulis buku best seller seperti The Professor and the Madman dan Krakatau (gunung Krakatau).
Namun kasus di atas hanyalah sepenggal bagian dari pengantar bertema critical point sampul buku. Ada banyak poin penting yang dijelaskan dalam workshop analisis dan bedah sampul buku ini. Di antaranya, soal judul, tagline, tema, penulis, blurb, foto, gambar, pointer, dan lainnya. Pada workshop yang digelar di Function Hall kantor Kelompok Agromedia ini, peserta juga diajak berdiskusi dan mengapresiasi cover buku dari sisi critical point. Workshop ini diikuti 61 peserta, di antaranya copy editor, editor, dan desainer dari penerbit-penerbit di bawah payung Kelompok Agromedia.
Rahasia Membuat Judul Ala Ndoro Kakung
Bukan perkara mudah untuk membuat sebuah judul yang memikat pembaca. Sebab, tidak ada formula yang baku. Bahkan, menurut Julie Grau, direktur co-editor dari Riverhead mengatakan, judul adalah suatu yang aneh dan misterius serta menggugah rasa ingin tahu.
Demikian, sebuah pengantar sesi workshop bertema The Title that Rocks the Cradle yang dibawakan Wicaksono, redaktur utama Koran Tempo dan pemilik blog yang beralamat di http://ndorokakung.com. Workshop tersebut adalah lanjutan dari sesi sebelumnya—yang dibawakan Tanudi.
Dalam kesempatan itu, Wicaksono, menyebutkan beberapa ‘pakem’ yang bisa memandu untuk membuat judul yang atraktif. Misalnya judul harus mudah diingat, deskriptif, tajam, jelas, atraktif, dan mengundang rasa ingin tahu. Untuk beberapa kasus, ia juga menyarankan membuat judul menggunakan metafora, diksi yang kuat, dan berkarakter. Selain itu Wicaksono juga menyebutkan rahasia di balik pembuatan judul dan penjudulan yang harus memperhatikan aspek estetika dan etika. Juga soal proses ‘pengendapan’ bahan agar bisa mengabstraksikan judul yang kuat.
Wicaksono juga mengingatkan, khususnya pada buku-buku non-fiksi, agar judul ditulis jelas dan tegas. Berbeda dengan buku fiksi yang lebih longgar. Nah, bagaimana cara mengunduh dan mendapatkan judul yang bagus? “Bermain-mainlah,” jawab bloger yang aktif sejak tahun 2006. Ia melanjutkan, “Lewat bermain-main, inspirasi bisa datang tiba-tiba, namun tetap harus ingat deadline.”
Tidak semua orang tahu apa itu blurb, endorsement, tagline, pointer, dan title. Bagi pekerja buku, istilah-istilah ini sudah menjadi santapan mereka dalam setiap proses produksi buku. Kenapa demikian? Sebab istilah-istilah ini sangat memengaruhi nilai sebuah buku. Materi inilah yang kemudian dibahas pada sesi berikutnya oleh Windy Ariestanty, Koordinator penerbit GagasMedia dan Bukuné.
“The journey starts from the back,” ungkap Windy ketika menjelaskan bagian dari tujuan dan fungsi blurb atau back cover. Artinya, petualangan pembaca dalam memahami isi sebuah buku dimulai dari blurb-nya. Blurb inilah yang menjelaskan bagian dari isi atau inti suatu buku.
Atas fungsi dan peran blurb yang begitu penting dalam penerbitan buku, tentu tidak bisa dibuat secara sembarangan. Tapi, harus mengikuti beberapa kaidah tertentu agar menghasilkan blurb yang mengenai sasarannya. “Blurb harus memancing rasa ingin tahu pembaca, memikat hati pembaca, dan mendorong orang untuk membeli,” jelas Windy.
Pada poin lainnya, blurb juga mesti menggunakan bahasa yang jelas dalam menyampaikan suatu inti kalimat. Seorang editor juga mesti bisa menjanjikan suatu manfaat atau hal yang bisa didapatkan dari buku tersebut kepada pembaca dari blurb yang dibuatnya. Jika tidak, tentu tidak akan memancing ketertarikan pembaca untuk membaca isi buku tersebut.
Pada sesi ini, Windy juga membuka sharing kepada peserta dalam mengolah redaksional pembuatan blurb. Peserta cukup antusias mengakali dan meramu kalimat dari contoh-contoh blurb yang sudah diberikan pada lembaran makalah yang dibagikan. Fantastis! Hanya tempo sekejap, peserta sudah memahami bagaimana membuat blurb yang baik.
Acara pelatihan ini cukup memberikan wawasan yang berharga bagi para peserta. Mereka bisa lebih melek dan mempertajam kembali kemampuan mereka untuk mengolah sebuah buku menjadi sajian yang menarik bagi pembacanya.
Selanjutnya, pada sesi terakhir, giliran Lukito A.M memberikan pengertian luas dalam memahami cover atau sampul. Ia menjelaskan, cover itu ibarat baju bagi sebuah buku dan ibarat pintu yang mengantarkan pembaca ke dalam isi buku. Oleh sebab itu, pembuatan cover harus sempurna sesuai kaidah dan fungsinya.
Pria yang biasa disapa Luluk ini juga mempresentasikan makna dan fungsi cover. “Fungsi cover ialah agar buku terlihat menarik, menjadi pembeda dari buku-buku lainnya, dan menyampaikan pesan isi buku,” jelasnya. Namun, pembuatan cover fiksi dan non-fiksi tidaklah sama. Sebab, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. “Cover buku fiksi biasanya bermain imajinasi, penggambaran alur cerita, berisi poin-poin penting dan adegan paling menarik, dan ketokohan cerita isi buku,” tambahnya.